Search
Search
Close this search box.
1000013507
Rahasia di halaman belakang

Alex , anak laki-laki berusia 7 tahun, berbeda dari anak-anak lain di desanya. Ia pendiam, sering dianggap aneh karena lebih senang duduk di bawah pohon sambil menggambar monyet daripada bermain bola atau main lompat tali seperti teman-temannya. Alex punya satu obsesi: monyet. Ia tahu banyak jenisnya, menonton dokumenter, membaca buku ensiklopedia, bahkan menamai semua bonekanya dengan nama-nama Gibbon.

Karena sering merasa kesepian, Alex menciptakan teman imajiner bernama Simon — seekor monyet nakal yang pintar bicara dan suka membuat lelucon. Bersama Simon, halaman belakang rumahnya berubah menjadi “hutan rimba”, tempat mereka bertualang, menyelamatkan hewan, dan bersembunyi dari “pemburu jahat” (imajinasi Alex tentang dunia orang dewasa).

Suatu sore, hidup Alex berubah ketika ia benar-benar menemukan seekor monyet kecil tersesat di dekat tong sampah belakang rumah. Tubuhnya kurus, kakinya terluka. Tanpa berpikir panjang, Alex membawa monyet itu ke pondok kayu kecil miliknya di halaman dan merawatnya diam-diam. Ia memberinya nama yang sama — Simon.

Alex merasa seperti hidup dalam mimpi. Simon kini nyata, bukan hanya teman imajinasi. Namun, ia harus merahasiakan semuanya dari ibu, tetangga, bahkan dari guru di sekolah. Ia mencuri buah dari dapur, membaca cara merawat monyet dari buku perpustakaan, dan menghabiskan sore-sore dengan Simon sungguhan di “rimba” pribadinya.

Tapi keadaan monyet itu makin memburuk. Alex sadar ia bukan ahli. Luka Simon tak kunjung sembuh, dan Simon makin lemas. Ia mulai mempertanyakan: apakah cintanya pada Simon berarti menyimpannya? Atau membiarkannya pergi?

Dengan penuh keberanian, Alex mendatangi guru IPA-nya, Bu Dewi yang dulu pernah mengajarkan soal satwa liar . Dengan bantuan Bu Dewi, Simon diselamatkan dan diserahkan ke pihak yang berwenang. Meskipun berat, Alex menyadari ia telah melakukan hal yang benar.

Beberapa hari kemudian, Alex duduk sendiri di halaman. Ia merindukan Simon. Tapi malam itu, Simon “yang lama” — versi imajinernya — datang kembali dalam mimpi, mengucapkan terima kasih dan berpamitan. “Kamu sudah tidak butuh aku lagi,” kata Simon. “Tapi aku akan tetap ada di rimba ini.”

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Artikel Terkait